KPK Pastikan Tak Ada Salah Hitung Kerugian Negara di Kasus BLBI
KPK siap menjawab eksepsi yang diajukan eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Menurut KPK, argumentasi kasus ini sebagai kesalahan administrasi adalah alasan klasik.
"Argumentasi yang disampaikan pihak SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung) bahwa kasus ini adalah kasus perdata kami pandang sebagai argumen klasik saja yang sering kami hadapi di berbagai proses hukum, baik mengatakan kasus pokok adalah perdata maupun pelanggaran bersifat administratif," ujar Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Selasa (22/5/2018).
Febri menjelaskan KPK memulai penyidikan kasus ini sejak 2013. Ia pun meyakini kasus ini mengandung tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian negara.
"Karena KPK tidak berfokus pada pembuatan perjanjiannya, tetapi pada fakta dugaan penghapusan piutang Sjamsul Nursalim sehingga seolah-olah berada dalam kondisi sudah memenuhi seluruh kewajibannya sehingga layak diberi surat keterangan lunas," tutur Febri.
"Selain itu, seperti diuraikan di dakwaan usulan BPPN tentang penghapusbukuan (write off) sebenarnya tidak pernah disetujui di rapat kabinet terbatas tersebut," imbuh Febri.
Febri pun memastikan penghitungan kerugian negara yang mencapai Rp 4,58 triliun telah dilakukan oleh BPK secara tepat. Ia pun mengatakan pengembalian kerugian keuangan negara dalam kasus ini menjadi tantangan tersendiri.
"Tentang dugaan kerugian negara Rp 4,58 triliun, kami pastikan sudah dihitung secara cermat oleh lembaga yang berwenang, yaitu BPK RI. Penanganan kasus BLBI ini akan menjadi tantangan bersama bagi semua pihak sebagai upaya untuk mengembalikan kerugian negara yang sangat besar," ujarnya.
Dalam pembacaan eksepsi pada Senin (21/5), pihak Syafruddin menyatakan audit kerugian negara yang dilakukan BPK pada 2017 tidak sesuai dengan standar. Apalagi saat penghitungan negara tidak melibatkan pihak ketiga, yaitu pejabat BPPN.
Audit BPK pada 2002 dan 2006 juga disebut pihak Syafruddin tidak menyebutkan penerbitan surat keterangan lunas dari BPPN terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dimiliki pengusaha Sjamsul Nursalim sesuai kebijakan pemerintah. Menurut kuasa hukum Syafruddin, Ahmad Yani, hal itu tidak menyatakan adanya kerugian negara.
Dalam perkara ini, Syafruddin didakwa merugikan negara Rp 4,5 triliun terkait BLBI. Kerugian negara itu berkaitan dengan penerbitan surat keterangan lunas dari BPPN terhadap BDNI.
Jaksa menyebut Syafruddin menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira serta surat pemenuhan kewajiban pemegang saham meski Sjamsul belum menyelesaikan kewajibannya yang seolah-olah piutang lancar atau misrepresentasi.
BDNI pun dikategorikan sebagai bank yang melakukan pelanggaran hukum atau transaksi yang tidak wajar yang menguntungkan Sjamsul Nursalim. Sjamsul kemudian diwajibkan mengikut Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
BPPN kemudian dibantu financial advisor membuat neraca penutupan BDNI dalam rangka menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) dengan rumus jumlah kewajiban dikurangi jumlah aset. Saat itu disepakati jumlah kewajiban sebesar Rp 47.258.000.000.000 dikurangi jumlah aset sebesar Rp 18.850.000.000.000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.